Minggu, 26 April 2009

Meluruskan Niat

''Sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya. Maka, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai pada yang diniatkannya.'' (HR Bukhari Muslim).
Niat dalam aktivitas setiap Muslim sangat penting, sehingga Imam Nawawi menempatkan hadis tersebut pada urutan pertama dalam kumpulan 41 hadis tentang kaidah-kaidah agung agama Islam yang biasa dikenal dengan hadis arbain.

Secara bahasa, niat berarti kehendak atau tujuan. Secara syara', niat berarti kehendak atau keinginan kuat yang diikuti dengan tindakan nyata. Esensi niat adalah tempat tujuan aktivitas dilakukan, bukan cara penyampaiannya. Niat secara lisan akan tetapi ditujukan kepada Allah SWT lebih baik daripada niat dalam hati, tetapi tidak sepenuhnya ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.

''Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya.'' (HR Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi).

Sebuah aktivitas bernilai ibadah atau tidak tergantung dari niatnya. Sebagai contoh: Makan, belajar, tidur adalah aktivitas biasa, tetapi bila aktivitas itu hanya ditujukan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka akan bernilai ibadah dan berpahala.

Namun, aktivitas yang dinamakan ibadah akan menjadi aktivitas biasa tanpa pahala ketika ditujukan kepada makhluk-Nya. Sebagai contoh: shalat sunah dan sedekah adalah ibadah, tetapi bila dilakukan hanya pada saat dilihat temannya, atasannya, atau orang lain, maka hanya menjadi aktivitas yang tak berpahala. Bahkan, bisa menghadirkan kemurkaan Allah SWT.

Terkadang ada yang salah kaprah menafsirkan sabda Rasulullah SAW ''Segala sesuatu tergantung niatnya'' itu. Sebagai contoh, orang yang salah kaprah atau semaunya sendiri akan menafsirkan melihat pornografi dan pornoaksi diperbolehkan dengan niat mentadabburi keindahan ciptaan Allah SWT. Padahal sudah jelas, pornografi dan pornoaksi adalah haram.

Demikian pula, penafsir yang semaunya sendiri itu tidak akan menganggap berdosa menyuap pejabat untuk meloloskan seleksi CPNS. Mereka berdalih menyuap itu diniatkan agar setelah bekerja nanti mempunyai penghasilan cukup dan keluangan waktu yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah. Salah satu indikator bahwa niat kita lurus untuk Allah adalah ketika dilihat orang lain atau tidak, apakah semangat dan kualitas amalan kita tetap sama.

Rubrik Hikmah Republika, 6-4-2006. Oleh: Arfi Nurdiyantoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar