Senin, 27 April 2009

Memelihara Embrio Kesenjangan

Ketika kata keadilan dijadikan isu dan tuntutan, seharusnya kesenjangan tidak lagi ditumbuhsuburkan. Calon kepala daerah dan anggota dewan senantiasa mengangkat tema keadilan demi kesejahteraan rakyat sebagai janji kampanye. Kenyataannya, ketika telah menjabat, janji pun terlupakan (semoga tidak sengaja dilupakan). Orang yang berkuasa semakin kurang bijak menggunakan kekuasaannya dengan kebijakan tidak populis dan telah melahirkan kesenjangan sosial. Padahal, rakyat mempunyai harapan tegaknya keadilan dan terkikisnya dinding kesenjangan.
Anggota dewan yang (seharusnya) terhormat seakan tidak lagi memiliki sense of crisis and poor. Masih ramai menghiasi media tentang kabar gembira (bagi anggota dewan). Dengan dalih menjalin ’hubungan harmonis’ dengan eksekutif, maka PP 37/2006 tentang tunjangan komunikasi intensif dan operasional akan segera direalisasikan. Kondisi yang cukup memprihatinkan adalah nilai tunjangan yang cukup besar. Masalah lainnya, belum dibuat mekanisme komunikasi dengan konstituen secara tepat dan bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut?

Menurut Depkeu (KR, 11-01-2007), tentang besaran tunjangan tersebut, nilai terendah bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota Rp. 6.424.600,00, bagi wakil ketua Rp. 9.227.450,00 dan bagi ketua Rp. 12.121.375,00. Sedangkan kelompok daerah berkemampuan tinggi, bagi Ketua DPRD Propinsi adalah Rp. 32.250.250,00. Angka tersebut diterimakan setiap bulan. Calon penerima meminta hak yang berlaku surut. Mereka meminta tunjangan selama tahun 2006 dimasukkan kedalam anggaran 2007. Kepentingan pribadi anggota dewan hampir terpenuhi diatas penderitaan korban bencana alam yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak dan anak-anak yang terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya sekolah.

Disisi lain pemberian tunjangan profesi guru dan dosen yang diamanatkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen dipersulit, teman-teman pendidik harus menunggu satu tahun lebih setelah Undang-undang ditetapkan untuk mendapatkan haknya. Untuk mendapatkan hak tersebut harus memenuhi persyaratan yaitu memiliki sertifikat profesi. Salah satu syarat uji sertifikasi pada tahap pertama adalah golongan IVa. Artinya, program ini khusus bagi guru PNS. Kenapa dikotomi guru PNS dan non PNS tetap dipertahankan yang sebetulnya cukup potensial melahirkan kesenjangan dikalangan pendidik?

Syarat uji sertifikasi yang lain adalah mengajar minimal 24 jam per minggu. Kondisi yang kontradiktif dengan semangat KTSP. Idealnya penerapan KTSP membawa konsekwensi beban mengajar guru harus diminimalkan dengan tujuan lebih optimal memantau perkembangan anak. Seandainya syarat ini tetap diberlakukan sebetulnya telah tercipta penindasan dari kalangan pendidik. Mengapa? Guru tidak tetap (GTT) terancam tidak memiliki jam mengajar karena telah ’diambil’ guru PNS dalam sekolah yang bersangkutan. Maka kesenjangan pendidik telah lahir.

Ketika terjadi kesenjangan antar pendidik, hasil ciptaan pemerintah dan legislatif, tidak dapat dibayangkan bagaimana nasib dunia pendidikan di Indonesia. Saling curiga dan berlepas tanggungjawab setiap saat melintas di pikiran. Gairah mengajar menjadi lesu karena perbedaan perlakuan dan kontraprestasi. Belum lagi ketika pendidik menganggap telah terjadi kesenjangan vertikal, khususnya dengan anggota legislatif.

Guru yang kerja (lebih) ekstra merasa kurang dihargai oleh dewan. Apalagi masih banyak GTT dengan penghasilan yang dibawah UMP. Kenapa pemerintah dan dewan tidak berani memberikan intensif lebih sehingga GTT bisa memperoleh penghasilan diatas UMP yang akan menaikkan kesejahteraan? Mengapa intensif tidak bisa diberikan rutin setiap bulan dan harus diterimakan diakhir periode (triwulan atau semester)? Padahal terdapat korelasi positif dan kuat antara kesejahteraan dengan kenyamanan dan profesionalisme kerja.

Kemajuan suatu bangsa terletak pada pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan. Pemerintah sangat berperan untuk memajukan pendidikan, satu hal yang bisa dilakukan adalah menghapuskan diskriminasi dan kesenjangan di dunia pendidikan. Kesenjangan horisontal (antar pendidik) dan vertikal (pendidik dengan pejabat/anggota dewan), baik dalam imbal kerja ataupun perlakukan pelaksanaan UU dan PP harus dihilangkan. Akan tetapi, dari waktu ke waktu embrio kesenjangan senantiasa lahir dan terus terpelihara. Benarkah kita yang bukan pejabat dan anggota dewan hanya berhak menonton kelahiran dan pertumbuhan embrio kesenjangan? Pada akhirnya kita akan termakan embrio kesenjangan yang telah dewasa menjadi monster mematikan?


Uneg-Uneg Arfi Nurdiyantoro
Awal 2007 yang sempat terarsip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar