Selasa, 28 April 2009

Mengapa Bank Tidak Segera Menurunkan Bunga Kredit?

Perbankan nasional kini menjadi sorotan karena tidak juga menurunkan bunga kreditnya. Padahal, bunga acuan alias BI Rate terus melandai hingga kini berada di level 7,50 persen.

Perlu diketahui, bunga kredit ditentukan berbagai komponen,antara lain biaya operasi, laba yang diinginkan, pajak, cadangan risiko kredit macet, total biaya dana. Mari kita bahas lebih terperinci! Pertama, biaya operasional.
Tentu bank akan menghitung berapa biaya yang dikeluarkan, mencakup biaya administrasi, biaya tenaga kerja. Ini juga sering disebut overhead cost. Kedua, sasaran laba. Dalam menentukan bunga kredit, bank juga akan menetapkan sasaran laba yang bakal diraih. Hal ini terkait pula dengan jenis kredit.

Bunga kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada umumnya akan lebih kecil daripada bunga kredit komersial. Ketiga, biaya pajak. Jangan lupa, bank yang memberikan kredit akan dikenakan pajak oleh pemerintah. Keempat, cadangan.

Bank wajib menyediakan cadangan (loan loss provision) atau penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) jikalau kredit yang dikucurkan ternyata macet. PPAP untuk kredit lancar (current), dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (sub-standard), diragukan (doubtful), dan macet (lost) masing-masing sebesar 1 persen, 5 persen, 15 persen, 50 persen dan 100 persen.

Intinya, sekalipun kredit lancar, bank tetap wajib mencadangkan 1 persen. Statistik Perbankan Indonesia posisi Februari 2009 menunjukkan bahwa rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) kelompok bank umum naik dari 3,20 persen per Desember 2008 menjadi 3,72 persen.Artinya, PPAP kian membengkak yang ujungnya akan menggerus laba yang ditahan (retained earning).

Bukan hanya itu, cadangan juga akan mengurangi modal yang tersedia. Dengan bahasa lebih bening, kecukupan modal minimum alias capital adequacy ratio (CAR) bank nasional yang kini mencapai 18,04 persen bakal menipis. Kelima,biaya dana (cost of fund).

Bank akan menetapkan biaya untuk memperoleh dana yang akhirnya dikembalikan kepada masyarakat berupa kredit. Dana dapat diperoleh dari dana pihak ketiga (DPK) yang meliputi tabungan, giro, dan deposito.Tabungan dan giro dikenal sebagai dana murah karena bank memberikan bunga rendah kepada nasabah produk ini.

Sebaliknya, deposito merupakan dana mahal karena bank menawarkan bunga yang tinggi kepada nasabahnya. Lirik saja,bunga deposito masih bertengger tinggi, sekitar 10 persen untuk minimal Rp500 juta atau bahkan Rp1 miliar. Untuk dapat memberikan kredit valas (valuta asing), bank nasional terpaksa mencari utang valas ke bank koresponden asing di dalam atau luar negeri.

Dana ini lebih mahal daripada deposito. Kian tinggi biaya dana, kian tinggi pula bunga kredit, apalagi di tengah krisis ekonomi global saat ini. Selain itu, kini bank sedang menghadapi dilema. Sejatinya, ketika suatu bank menawarkan bunga deposito tinggi, berarti bank tersebut sedang mengalami kesulitan likuiditas.

Pada kuartal III-2008 memang perbankan nasional menghadapi kesulitan, tetapi kini likuiditas bank papan atas sudah mulai pulih. Hal ini berbeda dengan bank papan bawah yang kemungkinan masih kekurangan likuiditas. Nah, kondisi ini akan memengaruhi bank papan bawah.Alhasil,mereka akan menawarkan bunga deposito lebih tinggi sehingga biaya dana kian melangit.

Bila bunga deposito menurun secara drastis, deposan kelas kakap, di antaranya. perusahaan pembiayaan (multifinance), asuransi, yayasan dana pensiun, dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) segera memindahkan deposito ke bank lain. Sebab,pada umumnya dana pensiun akan menempatkan investasi portofolio mereka di deposito on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), saham, obligasi, reksa dana, surat berharga, penempatan langsung,tanah dan bangunan.

Dilema ini akan terus bergulir karena bank nasional juga bersaing ketat dengan pemerintah, yang pada awal Februari 2009 menerbitkan obligasi ritel berbasis syariah alias sukuk ritel. Sukuk ritel ini menawarkan kupon bunga 12 persen per tahun dengan tenor tiga tahun dan dengan minimal investasi Rp5 juta untuk perorangan dan Rp1 miliar untuk lembaga. Imbal hasil sukuk ritel ini lebih tinggi daripada bunga deposito.

Jadi, jangan kaget bila terjadi migrasi dana dari deposito ke instrumen investasi lain. Sebut saja sukuk ritel,surat utang negara (SUN), obligasi korporasi atau Obligasi Negara Ritel (ORI) yang mencorong. Kondisi ini akan mendorong bank nasional untuk merevisi rasio portofolio.

Semula rasio berkisar antara 70 persen kredit korporasi (corporate banking) dan 30 persen kredit ritel (retail banking).Namun, rasio itu kini berubah menjadi 60 persen kredit korporasi dan 40 persen kredit ritel termasuk kredit konsumsi (consumer banking) dan kredit mikro (micro banking). Ini bermanfaat untuk men-set off pendapatan bunga kredit (interest income) korporasi yang belum optimal.

Nah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi, bank nasional memang sulit untuk segera menurunkan bunga kredit sekalipun BI Rate makin menurun. Namun, bank nasional hendaknya juga menyadari, kian tinggi bunga kredit berarti kian tinggi biaya modal (cost of capital) bagi sektor riil. Akibatnya, pebisnis megap-megap karena biaya produksi kian melejit padahal penjualan belum tentu meningkat.

Alhasil, NPL kredit modal kerja terancam melambung seperti yang terjadi saat ini, naik 15,72 persen atau Rp3,6 triliun dari Rp22,9 triliun per Desember 2008 menjadi Rp26,5 triliun per Februari 2009. Bank terkena getahnya. Untuk itu, inilah tantangan sejati bagi bank nasional untuk menggerakkan roda dunia usaha dengan menurunkan bunga kredit. (*) Paul Sutaryono
Source: okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar